DARI
kejauhan terdengar suara tembakan memecah malam pada 30 Juli 1892.
Rumah tuan tanah asal Bugis, Hadji Sapiudin, di kawasan Marunda dirampok
gerombolan bersenjata. Seorang menodong Hadji Sapiudin, sisanya
menguras isi rumah. Esoknya, warga heboh. Mereka percaya kelompok Si
Pitung pelaku perampokan itu. Peristiwa ini terekam dalam koran Hindia
Olanda, 10 Agustus 1892.
Sebulan kemudian, Si Pitung ditangkap. Rumahnya digeledah. Polisi
menemukan barang bukti uang sebesar 125 gulden di sebuah lubang rahasia
di lantai rumah. Pitung dijebloskan ke penjara di Meester Cornelis.
Namun, tak lama berselang, Si Pitung bersama gengnya, Dji’ih, Rais, dan
Jebul meloloskan diri.
Di kalangan warga Betawi, sosok Si Pitung dikelilingi kabut mitos.
Berbagai cerita mengisahkan Pitung memiliki kekuatan supranatural untuk
lolos dari kejaran polisi. “Sebagai kepala geng, Si Pitung merampok
rumah-rumah tuan tanah yang kaya. Dia terkenal karena keberaniannya,
yang dipercaya memiliki senjata-senjata magis dan kekuatan-kekuatan
magis,” tulis Henk Schulte Nordholt dan Margreet van Till, “Colonial
Criminals in Java” dalam Figures of Criminality in Indonesia, the
Philippines, and Colonial Vietnam karya Vicente L. Rafael.
Pitung bukan legenda belaka. Menurut sejarawan Belanda Margreet van Till
dalam “In Search of Si Pitung: The History of an Indonesian Legend”,
dimuat jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 152,
1996, sosok Si Pitung benar-benar berdasarkan sosok nyata yang hidup
pada paruh kedua abad ke-19.
Si Pitung lahir di Pengumben, sebuah desa di Rawa Belong, anak dari
pasangan Bung Piung dan Mbak Pinah. Masa kecilnya dihabiskan di
pesantren pimpinan Hadji Naipin. Selain mengaji, dia belajar silat.
Ketika dewasa, Si Pitung terkenal di kalangan rakyat Betawi sebagai
seorang jago yang baik hati. Merampok untuk dibagikan kepada rakyat
miskin.
Si Pitung melakukan perampokan pada 1892-1893. Aksi-aksinya terekam
dalam suratkabar Hindia Olanda, disebut sebagai salah satu buronan kelas
kakap polisi kolonial. “Perbedaan penyebutan namanya memperlihatkan
pada saat itu dia tidak dikenal luas: kadang-kadang dia disebut ‘Si
Bitoeng’, waktu lain ‘Pitang’. Setelah beberapa bulan, editor Hindia
Olanda memutuskan secara konsisten menyebutnya dengan ‘Si Pitoeng’,”
tulis Margreet.
Margreet juga membongkar nama asli Si Pitung. Ketika tertangkap polisi,
dalam dokumen pemeriksaannya terungkap nama aslinya: Salihoen. Menurut
sebuah cerita lisan, nama Si Pitung merupakan turunan dari bahasa Jawa,
pituan pitulung (kelompok tujuh).
Di kalangan warga Betawi, ketika Si Pitung meninggal, berita kematiannya
berkembang penuh mitos. Mereka percaya Si Pitung meninggal akibat
kehilangan jimatnya, yakni rambut. Pasalnya, beberapa jam sebelum
kematiannya, Si Pitung terlihat di Pasar Senen dengan rambut yang telah
dipotong. Padahal, baik dipotong atau tidak, memang sudah sejak lama
Pitung menjadi incaran polisi. Margreet percaya, hal inilah yang
menyebabkan munculnya kepercayaan bahwa Si Pitung kehilangan kekuataanya
karena rambutnya dipotong.
Setelah kematiannya, Si Pitung dengan cepat dilupakan orang-orang
Belanda. Tapi tidak dengan orang Indonesia. Kisah Si Pitung terawat
dengan baik, lewat lenong maupun film. Bagi mereka, Si Pitung adalah
Robin Hood dari Betawi
Penulis: Allan Akbar sumber : http://www.historia.co.id/?d=1280
Tidak ada komentar:
Posting Komentar